Hukum Melaknat dan Mencela Keadaan
HUKUM MELAKNAT DAN MENCELA KEADAAN
Pertanyaan
Bagaimanakah hukumnya melaknat dan mencela keadaan ?
Jawaban
Alhamdulillah.
Dari Abu Hurairah –Radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: يُؤْذِينِي ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ، بِيَدِي الأَمْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
رواه البخاري (4826) ومسلم (2246
وفي رواية لمسلم: لَا تَسُبُّوا الدَّهْرَ، فَإِنَّ اللهَ هُوَ الدَّهْرُ
“Allah –‘Azza wa Jalla- berfirman: “Anak Adam itu telah menyakiti-Ku karena mencela masa/waktu, dan Aku adalah masa itu. Di tangan-Ku lah segala urusan, Aku membolak-balikkan malam dan siang”. (HR. Bukhori: 4826 dan Muslim: 2246) dan di dalam riwayat Muslim: “Janganlah kalian mencela masa, karena Allah adalah masa”.
Ibnu Abdil Bar –rahimahullah- berkata: “Imam As Syafi’i berkata: “Penjelasan dari hal itu –wallahu a’lam- bahwa orang-orang Arab kebiasaan mereka adalah mencela dan menghina masa, pada saat terjadi musibah yang menimpa mereka, dari mulai kematian, kehancuran, hilangnya harta benda, atau musibah lainnya, mereka mengatakan: “Kita telah tertimpa potongan masa, mereka dihancurkan oleh masa, masa telah datang kepada mereka, malam dan siang tidak berpihak kepada mereka, sehingga mereka menghina masa dan mencelanya.
Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
لا تسبوا الدهر
“Janganlah kalian mencela masa”.
Bahwa dia lah yang melakukan semua itu kepada kalian, dan jikalau kalian mencela pelakunya, maka celaan kalian itu tertuju kepada Allah –‘Azza wa Jalla- karena Dia-lah yang melakukan semua itu, Dia-lah pelaku segala sesuatu, dan tidak ada sesuatu kecuali atas kehendak Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung”.[Al Istidzkar: 27/310]
Yang menjadi alasan mencela masa itu dilarang adalah karena yang menjadi konsekuensi dari celaan itu salah satu dari dua hal:
- Bisa jadi orang yang mencela tersebut meyakini bahwa masa/waktu itu sendiri yang memiliki manfaat dan bahaya, dengan demikian maka dia telah mensekutukan Allah –Ta’ala- dan telah menjadikan masa tersebut sebagai sekutu bagi-Nya dalam memberikan manfaat dan bahaya.
- Atau bisa jadi dia meyakini bahwa masa itu dan apa yang terkandung di dalamnya dari kebahagiaan dan kesedihan semua itu adalah takdir dari Allah –Ta’ala-, dengan demikian maka dia telah mencela Allah –subhanahu wa ta’ala-; karena Allah –Ta’ala- Dia-lah pencipta segala sesuatu.
Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata: “Pencela waktu itu berputar di antara dua hal, dia pasti akan berada pada salah satu dari keduanya: antara dia akan mencela Allah atau melakukan syirik kepada-Nya.
Jika ia meyakini bahwa waktu itu sebagai pelaku bersama Allah maka ia musyrik, dan jika ia meyakini bahwa Allah semata sebagai pelakunya sementara ia mencela Dzat yang melakukannya maka ia sebenarnya telah mencela Allah”. [Zaad Al Ma’ad: 2/324]
Dengan melihat alasan ini, maka larangan tersebut juga berlaku kepada larangan mencela keadaan dan kondisi; karena semua itu menjadi takdir Allah, dan keadaan dan kondisi tersebut tidak mampu dengan sendirinya untuk memberikan manfaat atau mendatangkan bahaya, maka dengan mencelanya berarti pelakunya telah meyakini bahwa keadaan itulah yang mampu memberikan pengaruh pada kejadian yang membahayakan, maka dengan itu ia telah melakukan syirik kepada Allah –Ta’ala- dan memberikan porsi kepada keadaan dan kondisi sedikit dari ciri khas ketuhanan.
Dan bisa jadi orang yang mencela dan melaknat itu meyakini keadaan yang terjadi ini merupakan perbuatan Allah dan menjadi takdirnya, maka dalam kondisi seperti itu ia telah mencela Allah terhadap aktifitas-Nya.
Kedua masalah tersebut adalah bahaya bagi akidah seorang muslim, tidak boleh bagi seorang muslim sengaja bermaksud melakukannya, jika lisannya telah mendahuluinya dalam berucap maka bersegeralah untuk bertaubat kepada-Nya, dan mensucikan Allah dari mensekutukan-Nya dengan sesuatu atau berprasangka bahwa Allah telah berlaku zholim.
Atas dasar inilah maka jika dia terkena musibah, janganlah mencela orang yang tidak berhak dicela, akan tetapi hendaklah beretika dengan etika syar’i, dengan kesabaran, berdzikir kepada Allah, seperti mengatakan: “Sesungguhnya kami ini milik Allah, dan sungguh kami akan kembali kepada-Nya”, sebagaimana dalam firman-Nya:
الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ ، أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
“ (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun”. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”.[ Al-Baqarah/2: 156-157]
Atau dengan berkata:
قدر الله وما شاء فعل
“Sesuai dengan takdir Allah dan apa saja yang Dia kehendaki maka Dia melakukannya”.
Dari Abu Hurairah –Radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ، خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَعْجَزْ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ، فَلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ: قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
“Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah dari pada mukmin yang lemah, dan pada tiap-tiap mereka ada kebaikan, fokuslah kepada hal yang mendatangkan manfaat bagimu, dan mintalah bantuan kepada Allah dan jangan merasa lemah, dan jika terjadi sesuatu kepadamu, maka janganlah berkata: “Kalau saja aku lakukan ini dan itu, akan tetapi katakanlah: “Ini merupakan takdir Allah, dan apa yang Dia kehendaki Dia melakukannya, karena kata “law” (andai saja) akan membukan perbuatan syetan”. [HR. Muslim: 2664]
Disalin dari islamqa
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/9963-hukum-melaknat-dan-mencela-keadaan-2.html